
Renungan Singkat : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
Ungkapan “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar” adalah seruan yang berulang kali dilontarkan oleh Yesus dalam Injil, khususnya dalam Matius 13, Lukas 8, dan Lukas 13. Seruan ini bukan sekadar pengingat bahwa kita memiliki organ pendengaran, melainkan sebuah undangan mendalam untuk membuka hati dan pikiran kita pada kebenaran rohani yang sedang disampaikan. Dalam konteks perumpamaan-perumpamaan Yesus, seruan ini menjadi kunci untuk memahami pesan-pesan Kerajaan Allah yang seringkali terselubung dalam bahasa simbolik.
Mendengar Lebih dari Sekadar Telinga Fisik
Dalam Matius 13 dan Lukas 8, kita menemukan perumpamaan tentang seorang penabur. Benih yang ditabur jatuh di berbagai jenis tanah: di pinggir jalan, di tanah berbatu, di semak duri, dan di tanah yang baik. Yesus menjelaskan bahwa benih itu adalah firman Allah, dan tanah adalah hati manusia. Namun, mengapa tidak semua benih berbuah? Mengapa hanya tanah yang baik yang menghasilkan panen? Jawabannya terletak pada kemampuan “mendengar” yang sejati.
“Mendengar” dalam konteks ini bukan sekadar mendengar suara firman Allah yang dibacakan atau dikhotbahkan. Banyak orang mungkin mendengar secara fisik, namun hati mereka tertutup, pikiran mereka teralihkan, atau kehidupan mereka penuh dengan “duri” duniawi yang menghimpit pertumbuhan iman. Mereka memiliki telinga, tetapi tidak “mendengar” dalam arti yang sesungguhnya.
“Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar” mengajak kita untuk melampaui pendengaran fisik dan memasuki pendengaran spiritual. Ini adalah pendengaran hati, pendengaran jiwa, pendengaran yang melibatkan seluruh keberadaan kita. Pendengaran yang sejati adalah keterbukaan hati untuk menerima firman Allah, kerinduan untuk memahami kehendak-Nya, dan kesediaan untuk menaati-Nya.
Telinga yang Tertutup, Hati yang Mengeras
Perumpamaan tentang penabur juga menggambarkan berbagai respons manusia terhadap firman Allah. Ada yang seperti tanah di pinggir jalan, yang mendengar tetapi tidak mengerti, sehingga iblis datang dan merampas firman itu dari hati mereka. Ada yang seperti tanah berbatu, yang menerima firman dengan sukacita pada awalnya, tetapi tidak berakar kuat, sehingga ketika datang pencobaan, mereka segera murtad. Ada pula yang seperti tanah semak duri, yang mendengar firman, tetapi kekuatiran dunia dan tipu daya kekayaan menghimpit firman itu, sehingga tidak menghasilkan buah yang matang.
Semua jenis tanah yang tidak berbuah ini memiliki kesamaan: telinga mereka tertutup, hati mereka mengeras. Mereka mungkin mendengar firman Allah, tetapi tidak membiarkan firman itu meresap ke dalam hati dan mengubah hidup mereka. Mereka lebih memilih untuk tetap berada dalam zona nyaman mereka, terikat pada nilai-nilai duniawi, dan tidak mau repot-repot mengubah arah hidup mereka sesuai dengan kehendak Allah.
Telinga yang Terbuka, Hati yang Subur
Sebaliknya, tanah yang baik adalah mereka yang mendengar firman dengan hati yang jujur dan baik, menyimpannya, dan menghasilkan buah dalam ketekunan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki “telinga yang terbuka,” hati yang subur, yang siap menerima benih firman Allah dan membiarkannya bertumbuh dan berakar kuat.
“Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar” adalah undangan untuk menjadi “tanah yang baik.” Undangan untuk membiarkan firman Allah bekerja dalam hidup kita, mengubah karakter kita, menuntun langkah kita, dan menghasilkan buah-buah kebenaran. Ini membutuhkan kerendahan hati untuk mengakui kebutuhan kita akan Allah, kesediaan untuk belajar dan bertumbuh, serta komitmen untuk hidup sesuai dengan ajaran-Nya.
Relevansi di Era Modern
Seruan “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar” tetap relevan di era modern ini. Di tengah hiruk pikuk dunia yang penuh dengan distraksi dan informasi yang membanjiri, kita seringkali kesulitan untuk benar-benar “mendengar” suara Allah. Kita mungkin sibuk dengan urusan duniawi, terjerat dalam hiburan yang dangkal, atau terperangkap dalam kebisingan media sosial, sehingga hati kita menjadi tumpul dan telinga rohani kita menjadi tuli.
Namun, Allah terus berbicara kepada kita melalui firman-Nya, melalui alam semesta, melalui sesama, dan melalui berbagai peristiwa dalam hidup kita. “Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar” mengingatkan kita untuk memperlambat langkah, menciptakan keheningan, dan membuka hati kita untuk mendengarkan suara Allah di tengah kebisingan dunia.
Kesimpulan
“Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar” adalah seruan yang menggema dari Injil, menantang kita untuk memiliki pendengaran yang sejati, pendengaran spiritual. Ini adalah undangan untuk membuka hati dan pikiran kita pada firman Allah, meresapinya, dan membiarkannya mengubah hidup kita. Marilah kita memeriksa diri kita sendiri: jenis tanah manakah hati kita? Apakah telinga kita terbuka atau tertutup? Pilihan ada di tangan kita. Namun, ingatlah bahwa hanya mereka yang memiliki “telinga yang mendengar” yang akan memahami misteri Kerajaan Allah dan mengalami kelimpahan berkat-Nya.